Sobat LINE Bank, Ramalan terkait pelemahan ekonomi di seluruh dunia semakin nyata. Setidaknya sejumlah tanda sudah bermunculan.
Lalu, apa saja Tanda-Tanda Resesi? Simak yuk!
1. Kuatnya Dolar Amerika Serikat (AS) dan Suku Bunga The Fed yang Tinggi
Tanda-Tanda Resesi yang pertama adalah Dolar AS memainkan peran besar dalam ekonomi global dan keuangan internasional. Dan sekarang, mata uang itu lebih kuat dari dua dekade sebelumnya. Kuatnya mata uang nomor satu dunia ini akhirnya akan melemahkan nilai mata uang lainnya seperti Euro, Yen, bahkan Rupiah. Ini menjadikan impor semakin mahal.
Selain itu, ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga, seperti yang telah dilakukan sejak Maret, itu membuat dolar lebih menarik bagi investor di seluruh dunia. Ini akhirnya membuat dana investasi berpindah menuju Negeri Paman Sam dari negara-negara lain di dunia.
2. Daya Beli Konsumen AS Turun
Penggerak utama ekonomi AS adalah belanja. Namun, tingkat belanja konsumen mulai menurun setelah kenaikan hampir semua barang selama dari satu tahun. Ditambah lagi, upah tidak ikut naik.
Suku bunga The Fed yang meningkat mendorong tingkat hipotek ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade dan mempersulit bisnis untuk tumbuh. Sementara itu, konsumen mendapatkan pukulan dari suku bunga pinjaman yang tinggi dan harga yang tinggi, terutama dalam hal kebutuhan seperti makanan dan perumahan.
3. Pasar Saham yang Menurun
Pasar ekuitas berkembang pesat pada 2021 dengan S&P 500 melonjak 27 persen berkat aliran uang tunai yang dipompa oleh The Fed. Tetapi ketika inflasi terjadi, The Fed mulai menaikkan suku bunga dan melepaskan mekanisme pembelian obligasi yang telah menopang pasar.
S&P 500, ukuran terluas dari Wall Street dan indeks yang bertanggung jawab atas sebagian besar 401(k)s AS turun hampir 24 persen untuk tahun ini. Tak hanya itu, Ketiga indeks utama AS juga berada di bear market setelah turun setidaknya 20 persen.
Pasar obligasi yang biasanya aman bagi investor ketika saham dan aset lainnya menurun, juga mengalami kemunduran. Kondisi ini juga disebabkan oleh kebijakan The Fed.
Inflasi bersama dengan kenaikan tajam suku bunga oleh bank sentral, telah mendorong harga obligasi turun yang menyebabkan imbal hasil obligasi naik.Imbal hasil obligasi Eropa juga melonjak karena bank sentral mengikuti jejak The Fed dalam menaikkan suku bunga untuk menopang mata uang mereka sendiri.
4. Perang, Inflasi, dan Kebijakan ‘Ngawur’
Tidak ada negara yang mengalami fenomena bencana ekonomi, keuangan, dan politik lebih parah daripada Inggris.
Seperti negara-negara lain di dunia, Inggris telah berjuang dengan lonjakan harga yang sebagian besar disebabkan oleh kejutan kolosal Covid-19, diikuti oleh gangguan perdagangan yang diciptakan oleh serangan Rusia ke Ukraina. Ketika Barat memotong impor gas alam Rusia, harga energi melonjak dan pasokan berkurang.
Masalah tidak berhenti di situ. Sepekan yang lalu, Perdana Menteri (PM) Liz Truss yang baru dilantik mengumumkan rencana pemotongan pajak besar-besaran. Namun, untuk mengkompensasi potensi pendapatan yang hilang dari pemotongan ini, Truss memutuskan untuk berutang.
Keputusan itu memicu kepanikan di pasar keuangan dan menempatkan Downing Street dalam kebuntuan dengan bank sentral independennya, Bank of England (BOE). Pasalnya, bank sentral itu telah dan masih akan terus menaikan suku bunga.
Ini kemudian mendorong investor di seluruh dunia berbondong-bondong menjual obligasi Inggris dan menjatuhkan pound ke level terendah terhadap dolar dalam hampir 230 tahun.
BOE melakukan intervensi darurat untuk membeli obligasi Inggris pada hari Rabu dan memulihkan ketertiban di pasar keuangan. Itu membendung pendarahan, untuk saat ini. Tapi efek riak dari gejolak Trussonomics menyebar jauh melampaui kantor pedagang obligasi. Di sisi lain, warga Inggris, yang sudah berada dalam krisis biaya hidup dengan inflasi 10% sekarang panik atas biaya pinjaman yang lebih tinggi. Kenaikan suku bunga pun dapat memaksa jutaan pembayaran hipotek bulanan untuk properti naik ratusan hingga ribuan pound.
5. Ramalan ‘Awan Gelap’ Resesi
Sementara konsensusnya adalah bahwa resesi global kemungkinan terjadi pada tahun 2023, masih sulit untuk memprediksi seberapa parahnya atau berapa lama itu akan berlangsung.Beberapa ekonomi, terutama AS dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan konsumen yang tangguh, akan mampu menahan pukulan lebih baik daripada yang lain.
“Kami berada di perairan yang belum dipetakan dalam beberapa bulan ke depan,” tulis ekonom di Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam sebuah laporan minggu ini.
Di sisi lain, negara-negara berkembang yang memiliki utang dengan negara maju akan kesulitan untuk membayar utangnya karena kenaikan suku bunga.
Nah itu dia tanda-tanda resesi yang harus banget kamu ketahui. Saat inflasi melambung, tetaplah berhemat dan uang dari pendapatan lain bisa untuk menabung atau investasi.
Untukmu yang memang belum memiliki rekening LINE Bank, yuk segera coba! Caranya gampang kok, dimanapun bisa kamu lakukan dan praktis lho cuma download aplikasi LINE Bank di Appstore maupun Playstore disini!
Baca juga: Cara Menghadapi Resesi 2023, Usul Luhut Binsar Tanam Cabai